Friday, May 11, 2007

Dari Jaringan ke Gerakan Politik

OPEC, G8, G20, APEC, NAFTA, WTO.
Siapa yang tidak mengetahui kebesaran nama-nama itu?. Rasa-rasanya hampir semua orang mengetahui organisasi-organisasi tersebut. Meski ada yang permanen dan ada pula yang tidak permanen serta berbeda-beda kepentingan, namun organisasi yang disebutkan diatas dapat dikategorikan sebagai organisasi jaringan. Jaringan solid yang berbasis kekuatan ekonomi, berbasis kawasan atau teritori maupun berbasis produksi. Demi satu atau lebih tujuan, negara-negara maju dan para pemilik modal menghimpun dirinya dalam sebuah jaringan.

Jika Goliath saja masih merasa perlu untuk berjejaring, lalu bagaimana dengan masyarakat sipil?

Singkatan L4[1] sudah sangat terkenal di kelompok masyarakat sipil apalagi kalau menyangkut berjejaring. Ada puluhan bahkan ratusan jaringan masyarakat sipil di Indonesia, tapi organisasinya itu-itu saja. Problem akut lainnya ialah persoalan komitmen, meski sebuah jaringan kadang bisa melibatkan ratusan organisasi namun yang nantinya aktif hanya satu atau dua organisasi saja. Itulah kenyataan riil yang terjadi dalam jaringan masyarakat sipil.

Dalam sejarahnya, berjejaring dalam masyarakat Indonesia bukanlah sebuah hal baru. Semenjak pra kemerdekaan rakyat Indonesia telah menyadari bahwa berjejaring adalah salah satu alat perjuangan untuk meraih kemerdekaan. Kaum muda berkumpul dari seluruh pelosok tanah air untuk membuat sebuah kesepakatan bersama (baca: Sumpah Pemuda). Berjejaring kemudian diyakini sebagai salah satu alat strategis dalam mencapai sebuah tujuan.

Berbagai kelompok masyarakat sipil yang mulai berkembang pada tahun 1980-an pun amat sadar akan pentingnya sebuah jaringan dalam mengadvokasikan isu-isunya. Dengan semakin besarnya sebuah jaringan maka diharapkan akan meluasnya solidaritas dan menguatnya dukungan publik. Pekerjaan pun mungkin akan lebih ringan, karena sumber daya semakin bertambah. Itu adalah hal ideal yang diharapkan dari sebuah pembangunan sebuah jaringan.

Dibawah ini adalah dua contoh jaringan yang saya anggap telah berhasil mendapatkan manfaat dari apa yang disebut sebagai kerja berjejaring.

Belajar dari Petani
Bagi para aktivis di Indonesia terutama yang berfokus pada isu agraria, mendengar nama La Via Campesina tentu tidak asing lagi. Tiga tahun setelah jaringan internasional para petani ini menggelar konferensi pertamanya di tahun 1993 maka pada konferensi kedua tahun 1996, mereka telah berhasil melibatkan 67 organisasi tani dari 37 negara. Di Indonesia, salah satu anggota jaringan yang paling aktif adalah Federasi Serikat Petani Indonesia.

Menurut informasi yang diperoleh dari www.viacampesina.org, jaringan ini bertujuan untuk mengembangkan solidaritas dan kesatuan diantara organisasi-organisasi tani kecil sehingga tercapai tujuan pokoknya, diantaranya adalah relasi ekonomi yang setara dan berkeadilan sosial, serta tercapainya kedaulatan pangan. Sebagai sebuah jaringan, La Via Campesina cukup berhasil dengan baik mengorganisasikan dan mengadvokasi berbagai programnya. Melalui mekanisme demokratik, setiap organisasi memiliki hak untuk memimpin jaringan.

Keberhasilan kerja jaringan internasional biasanya terletak pada kekuatannya dalam membangun kampanye publik bukan hanya di level nasional namun juga di level Internasional. Selain itu juga pada adanya pengakuan dari komunitas Internasional, sehingga mereka dapat melakukan advokasi secara intensif di dalam pertemuan Internasional seperti di PBB dan lembaga-lembaga Internasional lainnya. Kesulitan terbesar biasanya terletak pada masalah intensitas koordinasi, karena para anggota terpencar di berbagai negara maka sulit untuk membahas sebuah persoalan secara mendalam.

Kendati Jaringan berskala Internasional memiliki banyak hal positif, namun banyak pula kritik yang kerap diterima oleh Jaringan Internasional. Pertemuan-pertemuan Internasional kerap dinilai sebagai ajang aktifis semata, tanpa kemudian membawa signifikansi bagi gerakan di akar rumput. Tentu saja hasil kerja kongkret pengorganisiran dan berjejaring kaum tani di masa akan datanglah yang dapat menjawab kritik tersebut.

Yang Lokal Yang Bergerak
Pengalaman berjejaring lainnya yang cukup menarik untuk dipelajari adalah pengalaman pembangunan lingkaran Bolivarian pada tahun 2001 di Venezuela. Jaringan organisasi berbasis rakyat yang pada mulanya dibangun untuk menguatkan proses partisipatori demokrasi dan merespon kebutuhan di level komunitas dan berbasis rakyat ini kemudian berkembang menjadi penyokong keberhasilan Chavez dalam memenangkan Pemilu. Nama Lingkaran Bolivarian itu sendiri diambil dari nama salah seorang Pahlawan Pembebas yang amat terkenal di Amerika Latin yakni Simon Bolivar. Lingkaran-lingkaran ini tersebar bukan hanya ada diseluruh negeri Venezuela, namun juga ada di beberapa negara lain. Pada awal pembentukannya, lingkaran Bolivarian ini berjumlah 8.000 dengan satu lingkaran terdiri atas 7 hingga 12 anggota komunitas masyarat. Namun saat ini tercatat sudah ada kurang lebih 130.000 lingkaran. Lingkaran ini bertugas untuk melakukan pendidikan di kelompok masyarakat miskin, berhubungan dan memberdayakan masyarakat untuk mengatasi persoalan-persoalan di komunitas.[2]

Jika kita hendak berbicara mengenai demokrasi partisipatoris maka lingkaran bolivarian adalah bentuknya yang paling nyata. Lingkaran ini sungguh-sungguh melibatkan massa rakyat dalam setiap kegiatannya, membuat rakyat berkuasa dan masuk dalam sebuah gerakan politik yang nyata. Jaringan rakyat ini bukan hanya berisi sekumpulan aktifis, namun juga berisikan rakyat yang sadar akan kehendaknya dan tahu apa yang akan dilakukan.

Demikianlah dua contoh kerja jaringan yang memiliki karakter yang berbeda namun dengan tujuan akhir yang sama yakni mencapai kehidupan yang lebih sejahtera dan berkeadilan. Baik jaringan berskala Internasional maupun lokal, tanpa adanya komitmen yang kuat dari para anggota jaringan untuk mencapai tujuannya, dan kerendahan hati untuk saling bekerja sama, maka hasilnya akan sia-sia.
Pekerjaan berat dan besar untuk membangun jaringan sebagai alat perjuangan menanti kita.


Tunggal Pawestri
Pendiri SEKAR


tulisan ini dimuat pada majalah ALIANSI, Vol 33 No 37 Desember 2006-Januari 2007

[1] Loe lagi, Loe lagi = Kamu Lagi, Kamu Lagi
[2] http://www.arsn.ca/bolivarian_corner/circle.htm

Saturday, February 25, 2006

RUU APP, Mengapa Menimbulkan Penolakan?

Sabtu, 25 Februari 2006
Ninuk Mardiana Pambudy
Pro-kontra terhadap substansi Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi atau RUU APP yang merupakan usulan Dewan Perwakilan Rakyat sepekan ini terus bermunculan. Mereka yang mendukung menyebutkan, pornografi sudah terasa dampaknya sehingga harus segera diatur.
Mereka yang keberatan terhadap RUU APP menyatakan setuju bahwa pornografi tidak bisa dibiarkan, harus diatur. Persoalannya adalah pada bagaimana cara mengaturnya dan itu yang menyebabkan kelompok yang keberatan menolak substansi RUU tersebut.
Dalam diskusi publik di Gedung DPR Kamis lalu, Komisioner Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan Myra Diarsi mengkritik RUU ini sebab definisi tentang pornoaksi dan pornografi yang tidak jelas, longgar sehingga dapat menjadi pasal karet, dan rancu sebab mencampuradukkan antara pornografi, seksual, kecabulan, dan erotika.
Pasal 1 RUU ini menyebutkan, pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika. Pasal 2 menyebut, pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum.
Pasal 4 isinya: Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan /atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa. Sedangkan Pasal 25 (1) berbunyi: setiap orang dewasa dilarang mempertontonkan bagian tubuh tertentu yang sensual.
Di dalam bagian penjelasan dijelaskan apa yang dimaksud dengan bagian tubuh yang sensual. Penjelasan Pasal 4: Yang dimaksud dengan bagian tubuh tertentu yang sensual antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya.
Myra mempertanyakan definisi pornografi dan pornoaksi yang justru sama sekali tidak melindungi perempuan. Dia menyarankan Panitia Khusus (Pansus) RUU APP mencari pembanding dengan peraturan negara-negara lain.
Salah satu definisi pornografi, menurut Myra, selain bersifat grafis, pornografi juga mengandung unsur vulgar, eksplisit, mengandung kekerasan dan menghina/menyubordinasi perempuan.
Komnas Perempuan yang telah mengkaji mendalam RUU ini bersama Komnas HAM, dan lembaga-lembaga lain juga menemukan naskah akademis yang menurut prosedur harus menyertai usulan undang-undang untuk memberi alasan undang-undang tersebut memang diperlukan, ternyata tidak memenuhi syarat. Menurut Myra, isi naskah itu lebih bersifat tuduhan dan berisi stereotipe yang tidak didukung data empiris.
Secara terpisah, di ruang jumpa pers Gedung DPR pada hari yang sama Masyarakat Tolak Pornografi (MTP), Aliansi Masyarakat Anti-Pornografi dan Pornoaksi, Media Ramah Keluarga (Marka), Jaringan Prolegnas Pro Perempuan (JP3), LBH Jakarta, Koalisi Perempuan Indonesia, Puan Amal Hayati, Kalyanamintra, Fatayat NU, Perempuan Mahardika, Senjata Kartini, dan ICRP minta agar Pansus menunda pembahasan dan pengesahan RUU APP. Penundaan ini untuk memberi waktu Pansus melakukan kajian lebih mendalam dan melakukan studi banding ke negara-negara yang telah memiliki aturan tersebut.
Secara terpisah, dalam jumpa pers di Gedung DPR pada hari yang sama, Ketua MTP dan Marka Ade Armando menyebut RUU itu tidak masuk akal. ”Kami semua menentang pornografi, tetapi RUU APP banyak mengandung kelemahan dan cacat. Jangan terburu-buru, sebab persoalan terbesar adalah pada definisi,” tandas Ade. Pernyataan sama dikemukakan Ratna Batara Munti dari JP3.
Menurut Ade, definisi pornoaksi sangat tidak jelas maknanya, masuk ke ruang privat dan tidak mungkin diregulasi. Definisi pornografi tersebut menyamaratakan semuanya di dalam pornografi dengan sanksi yang sama. Menurut Ade, bila RUU ini jadi disahkan, tidak terbayangkan banyaknya media yang harus tutup. ”Perempuan yang memperlihatkan paha dianggap melanggar undang- undang, perempuan yang berpakaian tradisional akan dituduh melakukan perbuatan kriminal. Isinya tidak masuk akal,” katanya.
Harus mendengar
Anggota tim perumus Pansus RUU Pornografi dan Pornoaksi dari Komisi VI Sukmadewi Jakse (DPP PDI-P) dalam jumpa pers mengatakan, meskipun pansus masih harus mendengar lebih banyak suara masyarakat, tidak cukup hanya 70 komponen yang sudah datang ke DPR selama ini.
Menurut Sukmadewi, undang-undang seharusnya disusun dengan mendengar setidaknya 60 persen suara masyarakat. Karena itu, Pansus merencanakan untuk berkunjung ke Batam, Bali, dan Papua untuk melihat keragaman sosial budaya masyarakat setempat. ”Karena RUU ini menyentuh berbagai aspek kehidupan, Pansus memang harus bekerja dengan lebih hati-hati,” kata Dewi.
RUU ini sendiri diusulkan oleh anggota DPR sembilan tahun lebih lalu, tetapi selalu ditunda walaupun telah melalui dua kali pergantian presiden. Sekarang RUU ini diajukan kembali dan disetujui Rapat Paripurna DPR untuk dibahas menjadi undang-undang.
”RUU ini ditunda pada masa lalu karena ada kekhawatiran akan terjadi disintegrasi bila kelompok yang pro sama banyak dengan kelompok yang menolak. Sekarang dipaksakan karena ada perasaan bila tidak dibahas seperti tidak melakukan tugas (sebagai anggota DPR). Saya khawatir ada anggota DPR yang berkomentar, tetapi sebetulnya tidak paham substansi RUU. Misalnya kata sensual, sangat multitafsir. Lalu juga suara dimasukkan di situ. RUU ini tidak layak untuk diteruskan jadi undang-undang sebab multitafsir. Karena itu, saya inginnya tidak dibahas terburu-buru,” tambah Dewi.
Selain perdebatan di atas, bila kita memerhatikan isi RUU ini, tampak bahwa RUU ini membedakan antara orang dewasa dan anak-anak, seperti penggunaan kata ”orang dewasa” pada definisi pornografi dan pornoaksi. Padahal, semua orang tahu, pornografi juga melibatkan anak-anak dan remaja sebagai obyeknya.
Karena definisinya yang menyasar pada perempuan, tidak heran bila kelompok-kelompok perempuan dalam jumpa pers dan diskusi Kamis lalu, maupun kelompok-kelompok perempuan yang bertemu dengan anggota Pansus RUU Pornografi dari Fraksi PKS dan Fraksi PDS pada Rabu (22/2) menyebut, RUU ini berisi kebencian pada perempuan. Bukannya melindungi perempuan (dan anak), malah perempuan dianggap sebagai penyebab merebaknya pornografi.
Solusi
Myra Diarsi, Ratna Batara Munti, dan kelompok-kelompok masyarakat Arus Pelangi, LBH APIK Jakarta, LBH Jakarta, Pokja Perempuan Mahardhika, Srikandi Demokrasi Indonesia, Yayasan Jurnal Perempuan, Senjata Kartini, Seknas Koalisi Perempuan Indonesia, Komnas Perempuan, Kalyanamitra, dan Kepak Perempuan dalam kesempatan terpisah mengajukan solusi dari RUU APP. Mereka mengusulkan memasukkan pengaturan mengenai pornografi ke dalam revisi Undang-Undang KUHP yang tengah disusun pemerintah.
Selain itu, sudah tersedia berbagai perangkat undang-undang yang mengatur mengenai pornografi seperti KUHP, Undang- Undang Penyiaran, Undang-Undang Pokok Pers, dan UU tentang Perlindungan Anak.
Hal-hal yang bersifat moral landasan RUU APP antara lain menyebut soal moral tidak diselesaikan dalam undang-undang, melainkan melalui pendidikan di rumah dan sekolah. Alasannya, hal-hal menyangkut moralitas tidak dapat disamaratakan bagi setiap orang.
Mereka mengingatkan, meskipun dimaksudkan melindungi perempuan dan anak-anak, RUU ini mendiskriminasi dan berpotensi mengkriminalkan perempuan dan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan. Jangan ketidakmampuan negara mengatur pornografi disalahkan kepada perempuan. (LAM/MH)

Thursday, September 30, 2004

TNI masih ingin berpolitik

Rabu , 29/09/2004 14:38 WIB
Disahkannya RUU TNI Bukti TNI Masih Ingin Berpolitik
Anindhita Maharrani - detikInet
Jakarta, Disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) TNI adalah bukti ketidakrelaan TNI untuk keluar dari wilayah politik. Ada potensi membahayakan proses demokrasi di dalam RUU TNI.Demikian dikatakan Direktur Senjata Kartini (SEKAR) Nuraini saat berbincang dengan detikcom, Rabu (29/9/2004) siang."RUU ini membuktikan bahwa tetap ada ketidakrelaan TNI untuk keluar dari wilayah politik. Kita tetap menolak RUU TNI karena tuntutan utama kita dari dulu, TNI tidak berpolitik tapi kembali ke fungsi semula sebagai penjaga keamanan," tutur Nuraini.Walaupun telah dilakukan revisi, namun menurut Nuraini isi RUU TNI masih belum dapat diterima. "Meskipun sudah ada revisi, masih ada potensi untuk membahayakan proses demokrasi. Ada poin yang misalnya bicara soal fungsi militer untuk perang tapi ada juga dinyatakan fungsi pengamanan internal," jelasnya.Menurutnya, fungsi militer dan pengamanan internal ini perlu dikritisi lebih jauh. "Fungsi ini patut untuk kita kritisi, karena tidak ada ketegasan keamanan di tingkat internal sendiri bagaimana. Apakah ketika ribuan orang berdemo dianggap ancaman yang bisa melegitimasi tentara juga terlibat, mestinya RUU TNI adalah RUU yang mengatur ruang gerak TNI dalam politik maupun ekonomi secara tegas," demikian Nuraini.(dit/)

Monday, June 28, 2004

Sekar Serukan Hentikan Penyiksaan Rakyat

Senin, 28 Juni 2004
KEDU & DIY

YOGYAKARTA - Sebuah LSM perempuan yang bernama Senjata Kartini (Sekar) Yogyakarta menyerukan penghentian penyiksaan terhadap rakyat, menolak segala bentuk praktik-praktik militerisme, menolak kekerasan terhadap rakyat dan kekerasan terhadap perempuan yang dilanggengkan oleh militer.
Berikutnya, LSM itu juga menolak calon presiden dari militer dan sipil yang berwatak militer, menyerukan penghentian penyiksaan dan kekerasan terhadap rakyat Aceh, Papua, dan daerah konflik lain, penghapusan teritorial angkatan darat dari kodam sampai babinsa, serta bebaskan tapol/napol.
Pernyataan sikap Sekar itu disampaikan oleh Koordinator Sekar Yogyakarta Isneningtyas Yulianti kepada Suara Merdeka Sabtu pagi, sebagai pernyataan sikap berkaitan dengan Hari Antipenyiksaan Internasional.
Tak hanya sampai di situ penderitaan rakyat. Pemerintahan sipil pimpinan Mega-Hamzah yang diharapkan dapat memberikan ruang-ruang demokrasi bagi seluruh rakyat, kata dia, ternyata juga berwatak militeristis yang hanya menghasilkan penderitaan baru bagi jutaan rakyat. Mega-Haz lebih senang bersanggama dengan ABRI daripada menggusur tuntas pelanggaran HAM dan kekerasan yang dilakukan oleh ABRI.
Penerapan DOM dan darurat militer di Aceh dan di Papua menyebabkan ratusan rakyat sipil mati, petani Mangarai mengalami intimidasi oleh polisi karena menuntut tanahnya, kawan-kawan prodemokrasi di Bali, Jakarta, Yogyakarta, Palu, Samarinda ditangkapi karena aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan. Terakhir, penyerbuan dan kekerasan mahasiswa di kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI) pada awal Mei lalu.
Kini pada Pemilu 2004, tambah dia, militer kembali ikut bermain untuk merebut kekuasaan dan menimbulkan pertanyaan apakah mungkin militer yang memiliki kekuatan bersenjata yang berlumuran darah rakyat dapat menjalankan pemerintahan dengan cara-cara demokratis.
Sejarah telah membuktikan pemerintahan kapitalis-militeristik pimpinan Jenderal Soeharto telah menghasilkan 5 juta jiwa mati pada peristiwa 65, petani kehilangan tanahnya disulap menjadi lapangan golf dan mal, pers dibungkam, DOM Aceh, Papua, kasus Talang Sari, Tanjung Priok, Malari, Kedungombo, 27 Juli 1996, penculikan aktivis 1998, kerusuhan Mei serta pemerkosaan dan pembunuhan ras etnis Tionghoa. (P12-76e)

Sunday, April 25, 2004

LSM Perempuan Tolak Militer

Sabtu, 24 April 2004
LSM Perempuan Tolak Militer
Jakarta, Kompas - Senjata Kartini (Sekar), lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk perempuan, menolak calon presiden (capres) dari kalangan militer. Menurut mereka, terpilihnya kandidat presiden dari kalangan militer akan kembali membuat kaum perempuan di Tanah Air teraniaya karena adanya kecenderungan pendekatan militer dalam setiap keputusan presiden. Pendekatan itu terbukti berulang kali membuat kaum perempuan dan anak menjadi korban.
Demikian Direktur Sekar Nuraini dalam acara jumpa pers di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Jumat (23/4) di Jakarta. Seusai jumpa pers, organisasi lain, Partai Rakyat Demokratik (PRD), menggelar acara serupa. PRD mengimbau masyarakat pemilih dalam pemilu presiden 5 Juli mendatang tidak membuka peluang kebangkitan militer dalam pemerintahan sipil.
Dalam pernyataan yang dibacakan Nuraini, Sekar meminta capres Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono mempertanggungjawabkan kasus tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, kerusuhan Mei 1998, dan darurat militer di Aceh. "Pemberlakuan darurat militer di Aceh mengakibatkan ribuan orang menjadi janda. Selama darurat militer, elite menggunakan metode kekerasan seksual terhadap perempuan."
Sekar mengingatkan seluruh komponen agar tidak memberikan ruang bagi kekuatan antidemokrasi untuk memimpin negeri. "Adalah tugas gerakan perempuan berbenah diri. Bila tidak, kebijakan yang tidak berpihak kepada perempuan makin leluasa disahkan," ujar Nuraini.
Sementara itu, Ketua Umum PRD Yusuf Lakaseng mengakui kebangkitan militer yang ditandai dengan munculnya sejumlah jenderal pensiunan disebabkan lemahnya masyarakat madani serta terpecah-pecahnya LSM gerakan mahasiswa dan gerakan prodemokrasi lainnya. "Ini semua memberi peluang kembalinya kekuatan lama, baik militer maupun sipil, yang tidak lain adalah kekuatan reformis gadungan dan Orde Baru," ujarnya. "Seluruh elemen harus bersatu." (WIN)

Saturday, April 24, 2004

SEKAR tolak Wiranto-SBY

Jumat , 23/04/2004 11:01 WIB
Senjata Kartini Tolak Wiranto-SBY
Anindhita Maharrani - detikInet
Jakarta, Yayasan Senjata Kartini (Sekar) menolak Wiranto dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai capres. Keduanya dinilai pelanggar HAM dan tidak representatif untuk dipilih kaum perempuan."Wiranto hingga kini menolak untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam kasus Timtim, juga Kerusuhan Mei 1998. SBY bertanggung jawab atas pemberlakukan darurat militer di Aceh, di mana terdapat kekerasan seksual terhadap perempuan."Demikian tutur Direktur Yayasan Sekar, Nuraini, di Kantor Kontras jalan Cisadane Jakarta Pusat, Jumat (23/4/2004). Dalam penilaian Sekar, tidak ada satupun capres yang dapat mewakili suara perempuan pada pemilihan presiden mendatang."Jujur kita nilai, 5 paket capres yang mencuat sekarang ini (Mega, Wiranto, SBY, Amien Rais, dan Gus Dur) tidak ada yang representatif, di mana kaum bisa menaruh harapan," tukas Nuraini.Bahkan dalam masa kepemimpinan Presiden Megawati, lanjut dia, hak-hak kaum perempuan masih ditindas. "Selama 5 tahun terakhir, kita tidak melihat sepak terjang Mega dalam memperjuangkan nasib perempuan," ujarnya.Yayasan Sekar, kata dia, juga menganjurkan masyarakat, khususnya kaum perempuan, untuk tidak memilih presiden yang berlatar belakang militer."Sangat sulit berharap pemerintahan yang dipimpin tokoh militer dapat berjalan demokratis. Kami menyerukan untuk tidak memilih capres dan cawapres dari militer, serta menolak kembalinya militer dalam politik," tandas Nuraini. (sss/)